“Etika Komunikasi dalam Perspektif Umum dan Islam“
BAB I
Pendahuluan
Setiap pribadi atau komunitas pasti memiliki nilai yang diyakini, itu berarti kita akan berbicara mengenai nilai atau etika yang dianut seseorang atau komunitas tertentu, sama halnya ketika berbicara mengenai komunikasi insani.
Persoalan etika yang potensial selalu melekat dalam setiap bentuk komunikasi antarinsan sehingga komunikasi dinilai sangat berpengaruh terhadap manusia lain sehingga seorang komunikator secara sadar memilih cara-cara berkomunikasi guna mencapai tujuan yang diinginkannya. Tujuannya bisa berupa menyampaikan informasi, memengaruhi orang lain, meningkatkan pemahaman seseorang, atau mengubah tingkah laku orang.
Pentingnya etika dalam proses komunikasi bertujuan agar komunikasi kita berhasil dengan baik (komunikatif) dan terjalinnya hubungan yang harmonis antara komunikator dan komunikan. Hubungan akan terjalin secara harmonis apabila antara komunikator dan komunikan saling menumbuhkan rasa senang. Rasa senang akan muncul apabila keduanya saling menghargai, dan penghargaan sesama akan lahir apabila keduanya saling memahami tentang karakteristik seseorang dan etika yang diyakini masing-masing.
BAB II
Pembahasan
Johannesen (1996: 11) menyatakan bahwa komunikasi yang etis bukan hanya serangkaian keputusan yang cermat dan reklektif, serta berkomunikasi dengan cara yang bertanggungjawab dan etis, melainkan penerapan kaidah-kaidah etika secara berhati-hati, kadang-kadang tidak mungkin dilakukan. Tekanan yang dihadapi mungkin saja terlalu besar atau batas waktunya terlalu dekat untuk membuat suatu keputusan sehingga tidak ada waktu yang cukup untuk mempertimbangkan secara mendalam atau kita kurang memahami kriteria etika yang relevan untuk diterapkan. Situasinya mungkin begitu unik sehingga kriteria yang dapat diterapkan tidak segera terlintas dalam benak. Dalam saat-saat kritis, keputusan kita mengenai komunikasi etis muncul bukan dari pertimbangan yang mendalam, melainkan lebih dari karakter yang terbentuk dalam diri kita sendiri.
Dalam skema besar filsafat, etika terletak pada aspek aksiologi. Etika komunikasi dengan sendirinya merupakan bagian dari etika. Maka dalam hubungannya dengan filsafat komunikasi, aksiologi merupakan suatu kajian terhadap nilai-nilai dan kajian terhadap cara mengekspresikan dan melembagakan nilai-nilai tersebut.
Etika komunikasi merupakan bagian dari upaya untuk menjamin otonomi demokrasi. Etika komunikasi tidak hanya berhenti pada masalah perilaku aktor komunikasi (wartawan, editor, agen iklan, dan pengelola rumah produksi). Etika komunikasi berhubungan juga dengan praktek institusi, hukum, komunitas, struktur sosial, politik dan ekonomi. Lebih dari itu, etika komunikasi selalu dihadapkan dengan berbagai masalah, yaitu antara kebebasan berekspresi dan tanggung jawab terhadap pelayanan publik. Etika komunikasi memilik tiga dimensi yang terkait satu dengan yang lain, yaitu:
* Aksi Komunikasi
Aksi komunikasi merupakan dimensi yang langsung terkait dengan perilaku aktor komunikasi. Perilaku aktor komunikasi hanya menjadi salah satu dimensi etika komunikasi, yaitu bagian dari aksi komunikasi. Aspek etisnya ditunjukkan pada kehendak baik yang diungkapkan dalam etika profesi dengan maksud agar ada norma intern yang mengatur profesi. Aturan semacam ini terumus dalam deontologi jurnalisme. Mudah sekali para aktor komunikasi mengalihkan tanggung jawab atau kesalahan mereka pada sistem ketika dituntut untuk mempertanggungjawabkan elaborasi informasi yang manipulatif, menyesatkan publik atau yang berbentuk pembodohan.
* Sarana
Pada tingkat sarana, analisis yang kritis, pemihakan kepada yang lemah atau korban, dan berperan sebagai penengah diperlukan karena akses ke informasi tidak berimbang, serta karena besarnya godaan media ke manipulasi dan alienasi. Dalam masalah komunikasi, keterbukaan akses juga ditentukan oleh hubungan kekuasaan. Pengunaan kekuasaan dalam komunikasi tergantung pada penerapan fasilitas baik ekonomi, budaya, politik, atau teknologi (bdk. A. Giddens, 1993:129). Semakin banyak fasilitas yang dimiliki semakin besar akses informasi, semakin mampu mendominasi dan mempengaruhi perilaku pihak lain atau publik. Negara tidak bisa membiarkan persaingan kasar tanpa bisa membiarkan persaingan kasar tanpa penengah diantara para aktor komunikasi maupun pemegang saham. Pemberdayaan publik melalui asosiasi warga negara, class action, pembiayaan penelitian, pendidikan untuk pemirsa, pembaca atau pendengar agar semakin mandiri dan kritis menjadi bagian dari perjuangan etika komunikasi.
* Tujuan
Dimensi tujuan menyangkut nilai demokrasi, terutama kebebasan untuk berekspresi, kebebasan pers, dan juga hak akan informasi yang benar. Dalam negara demokratis, para aktor komunikasi, peneliti, asosiasi warga negara, dan politisi harus mempunyai komitmen terhadap nilai kebebasan tersebut. Negara harus menjamin serta memfasilitasi terwujudnya nilai tersebut.
A. Etika Komunikasi Antarpersona
John Condon (dalam Johannesen, 1996: 148) mengkaji sejumlah besar isu etika secara khas muncul dalam suasana komunikasi antarpersona: keterusterangan, keharmonisan sosial, ketepatan, kecurangan konsistensi kata dan tindakan, menjaga kepercayaan, dan menghalangi komunikasi. Untuk membahas tema-tema etika ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Dalam berkomunikasi hendaklah jujur dan terus terang dengan keyakinan dan perasaan pribadi yang sama-sama dimiliki. Layaknya kita ingin mengatakan “tidak” berarti “tidak”; kita ingin oramg yang tidak mengerti mengatakan tidak mengerti, dan orang yang tidak setuju mengungkapkan ketidaksetujuan itu secara langsung.
2. Dalam setiap kelompok dan budaya dimana saling ketergantungan dinilai lebih baik daripada individualistis, menjaga keharmonisan hubungan sosial lebih etis daripada menyatakan kepentingan dan pikiran kita.
3. Informasi disampaikan dengan tepat, dengan tidak kehilangan atau penyimpangan minimum dari makna yang dimaksudkan.
4. Kecurangan yang disengaja umumnya tidak etis.
5. Petunjuk verbal dan nonverbal, kata-kata dan tindakan, hanya konsisten dalam makna yang disampaikan.
6. Biasanya tidak etis bila dengan sengaja menghalangi proses komunikasi, seperti memotong pembicaraan seseorang sebelum ia selesai mengutarakan masalahnya, mengganti subjek ketika orang lain benar-benar masih mempunyai banyak hal untuk dikatakan, atau secara nonverbal mengalihkan orang lain dari subjek yang dimaksudkan.
Ronal Arnett menawarkan konsep lain sebagai standar etika komunikasi antarpersona, yakni:
1. Kita terbuka terhadap informasi yang merefleksikan perubahan konsepsi diri sendiri atau orang lain.
2. Aktualisasi diri atau pemenuhan diri partisipan harus didukung jika semuanya memungkinkan.
3. Kita harus memperhitungkan emosi dan perasaan diri kita sendiri.
Dari pendapat Condon dan Arnett tersebut dapat dipahami bahwa dalam melakukan proses komunikasi antarpersona yang paling penting, yaitu:
1. Pesan dan informasi itu disampaikan apa adanya, jujur dan terbuka agar komunikan dapat memberikan respons yang lengkap sehingga komunikator akan mengambil keputusan untuk memberikan respons yang tepat dan lengkap. Kejujuran dalam komunikasi tidak hanya untuk komunikator, tetapi berlaku juga untuk komunikan.
2. Berikan waktu seluas-luasnya kepada komunikan untuk menyampaikan pendapatnya. Sering terjadi komunikasi yang tidak harmonis karena komunikator dan komunikan saling memotong pembicaraan, bahkan saling menjegal. Disini kita harus memiliki sikap empati dan saling menghargai posisi masing-masing.
3. Fokuskan perhatian dan perasaan pada tema pembicaraan. Hindari sikap acuh tak acuh, menyepelekan orang, dan menganggap rendah komunikan.
4. Tumbuhkan saling percaya dan saling bergantung bahwa kita orang baik dan dia juga orang baik. Yang dimaksud bergantung adalah kita menganggap penting dia, dan dia juga merasa penting dengan kita.
5. Perhatikan perilaku nonverbal, seperti tatapan mata yang menyenangkan, mimik muka yang bersahabat, senyuman, dan perilaku nonverbal lainnya.
Oleh karena itu, dalam konteks tertentu perilaku nonverbal lebih bisa dipercaya daripada kata-kata. Dengan demikian, perilaku nonverbal jangan dianggap sepele, bahkan perlu diperhatikan secara cermat karena dianggap sebagai respons yang sesungguhnya.
B. Etika Komunikasi Antarbudaya
Agar terciptanya komunikasi antarbudaya yang berhasil, kita harus menyadari faktor-faktor budaya yang memengaruhi komunikasi kita, baik dari budaya kita maupun dari budaya pihak lain. Kita tidak hanya perlu memahami perbedaan-perbedaan budaya, tetapi juga persamaan-persamaannya. Tidak ada standar etika komunikasi antarbudaya yang baku.
K.S Sitaram dan Roy Cogdell (Johannesen, 1996; 231) menyajikan standar etika komunikasi antarbudaya sebagai berikut:
1. Memperlakukan budaya khalayak dengan penghormatan yang sama diberikan terhadap budaya sendiri.
2. Memahami landasan budaya dan nilai-nilai orang lain.
3. Tidak pernah menganggap lebih tinggi standar etika yang diyakininya dibandingkan dengan etika orang lain.
4. Berusaha keras memahami kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan orang lain.
5. Menghargai cara berpakaian orang-orang dari budaya lain.
6. Tidak memandang rendah orang lain karena ia berbicara dengan aksen yang berbeda dengan aksen seseorang.
7. Tidak menciptakan suasana untuk menebalkan stereotip tentang orang lain.
8. Tidak memaksakan nilai yang diyakininya kepada orang lain yang berbeda budaya.
9. Berhati-hati dengan simbol nonverbal yang digunakan pada budaya orang lain.
10. Tidak berbicara dengan bahasa yang sama dengan orang dari budaya yang sama di hadapan orang yang tidak mengerti bahasa tersebut.
Dari standar etika yang dikemukakan tersebut, dapat disimpulkan bahwa standar etika dapat dikategorikan ke dalam tiga hal yaitu:
1. Kognitif (pengetahuan) tentang budaya lain, Menurut Mulyana (1999: 13) ketika kita berkomunikasi dengan orang dari suku, agama, atau ras yang berbeda, kita dihadapkan dengan sistem nilai atau aturan yang berbeda. Oleh karena itu, memahami sistem nilai orang lain adalah suatu keharusan.
2. Afektif (sikap) terhadap budaya lain, hendaknya menghargai dan tidak memandang rendah budaya lain serta harus memperhatikan perilaku nonverbal. Arnold Ludwig dalam bukunya, menggaris bawahi setiap implikasi etika beberapa dimensi komunikasi nonverbal: kebohongan tidak hanya ditemukan dalam pernyataan verbal.
3. Psikomotorik (perilaku), berkomunikasi dengan orang yang berbeda budaya perlu menghormati budaya tersebut dengan segala aspeknya, serta perlu menghindari stereotip. Dengan demikian, stereotip antarsuku, agama, dan ras harus ditinggalkan dengan mengedepankan persamaan dan saling menghormati perbedaan di antara kita. Sehingga pada gilirannya komunikasi diantara budaya yang berbeda akan berjalan baik.
C. Etika Komunikasi Massa
Seseorang yang berkomunikasi melalui media massa, baik pimpinan redaksi, wartawan, penulis, pengisi kolom, mereka tidak atas nama diri mereka sendiri (tv, radio, Koran, atau majalah), tetapi mengatasnamakan lembaga/ media tempat mereka bekerja. Oleh karena itu, mereka perlu memahami norma-norma yang berlaku dalam komunikasi massa. Namun, masalahnya tidak ada standar etika khusus dalam komunikasi massa yang dikemukakan para ahli.
Paling tidak ada beberapa rumusan sederhana yang dirangkum dari beberapa pendapat pakar komunikasi mengenai etika dalam komunikasi massa, yaitu:
1. Berkaitan dengan informasi yang benar dan jujur sesuai fakta sesungguhnya.
2. Berlaku adil dalam menyajikan informasi, tidak memihak salah satu golongan.
3. Gunakan bahasa yang bijak, sopan dan hindari kata-kata provokatif.
4. Hindari gambar-gambar yang seronok.
Dalam konteks ini, tentunya semua standar tersebut lebih relevan diterapkan bagi pers yang menganut pers bebas dan bertanggung jawab seperti di Indonesia dan di negara-negara Timur lainnya. Mungkin bagi negara-negara yang menganut pers bebas seperti di Amerika dan di Barat hal ini tidak berlaku sebab mereka memiliki standar etika yang berbeda.
D. Etika Komunikasi dalam Perspektif Islam
Dalam persperktif Islam, komunikasi merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan manusia karena segala gerak langkah kita selalu disertai dengan komunikasi. Komunikasi yang dimaksud adalah komunikasi yang islami, yaitu komunikasi yang berakhlak al-karimah atau beretika. Komunikasi yang berakhlak al-karimah berarti komunikasi yang bersumber kepada Al-Qur’an dan hadits. A. Muis (2001:720) mengatakan komunikasi islami memiliki perbedaan dengan non-islami. Perbedaan itu lebih pada isi pesan (content) komunikasi yang harus terikat perintah agama, dan dengan sendirinya pula unsur content mengikat unsure komunikator. Artinya, komunikator harus memiliki dan menjunjung tinggi nilai-nilai etika dalam menyampaikan pesan berbicara, berpidato, berkhotbah, berceramah, menyiarkan berita, menulis artikel, mewawancarai, mengkritik, melukis, menyanyi, bermain film, bermain sandiwara di panggung pertunjukan, menari, berolahraga, dan sebagainya.
Kemudian, seorang komunikator tidak boleh menggunakan simbol-simbol atau kata-kata yang kasar, yang menyinggung perasaan komunikan atau khalayak, juga tidak boleh memperlihatkan gerak-gerik, perilaku, cara pakaian yang menyalahi kaidah-kaidah agama.
Untuk lebih jelasnya, dapat ditemukan beberapa prinsip etika komunikasi dalam Al-Qur’an dan hadits, antara lain:
1. …. dan berkatalah kamu kepada semua manusia dengan cara yang baik (QS. Al-Baqarah: 83).
2. Perkataan yang baik dan pemberi maaf lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan perasaan (QS. Al-Baqarah: 263).
3. ……sekiranya kamu bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu…. (QS. Ali Imran: 154).
4. Allah tidak menyukai ucapan yang buruk (yang diucapkan) terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya (QS. An-Nisaa: 154).
5. Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut…. (QS. Thaahaa: 44).
6. Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku supaya mereka mengucapkan perkataan yang baik (benar) (QS. An-Nahl: 53).
7. Serukanlah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik pula (QS. An-Nahl: 125).
8. Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu menyatakan apa yang tidak kamu lakukan? Amat besar murka Allah apabila kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan (QS. An-Naba’: 2-3).
9. Dan hamba-hamba yang baik dari Tuhan Yang Maha Penyayang itu ialah orang-orang yang berjalan di muka bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahat menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung keislaman) (QS. Al-Furqaan: 63).
10. Dan janganlah kamu berdebat dengan ahli kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang yang lain di antara mereka (QS. Al-‘Ankabuut: 460).
Di dalam hadits Nabi juga, ditemukan prinsip-prinsip etika komunikasi, bagaimana Rasulullah saw mengajarkan berkomunikasi kepada kita. Sabda Nabi bisa ditafsirkan bahwa dalam berkomunikasi hendaklah bersikap jujur, terbuka dan benar, walau dalam penyampaian kebenaran itu penuh risiko. Pembicaraan kita juga hendaklah yang baik dan benar sehingga bermanfaat bagi yang lain. Kalau tidak bermanfaat, diam adalah alternatif yang terbaik.
Selanjutnya, janganlah berbicara sebelum berpikir terlebih dahulu, artinya apabila kita ingin berkomunikasi dengan orang lain, tidak asal berbicara, harus berhati-hati dan memiliki manfaat bagi orang lain. Nabi juga menganjurkan berbicara yang baik-baik saja, dalam konteks ini Nabi mengingatkan kepada kita untuk tidak membicarakan aib orang lain di saat dia tidak ada di hadapan kita.
Nabi berpesan “Sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang-orang….yaitu mereka yang menjungkir balikkan (fakta) dengan lidahnya seperti seekor sapi yang mengunyah-ngunyah rumput dengan lidahnya. Pesan Nabi saw tersebut bermakna luas bahwa dalam berkomunikasi hendaklah sesuai dengan fakta yang kita lihat, kita dengar, dan kita alami. Jangan sekali-kali berbicara memutarbalikan fakta, yang benar dikatakan salah dan yang salah dikatakan benar. Bila ini terjadi, kita telah melakukan kebohongan besar, dan pantas disebut sangat tidak bermoral. Selain tidak etis dalam berkomunikasi, juga telah berbuat dosa besar.
Prinsip-prinsip etika tersebut, sesungguhnya dapat dijadikan landasan bagi setiap muslim – ketika melakukan proses komunikasi, baik dalam pergaulan sehari-hari, berdakwah, maupun aktivitas-aktivitas lainnya. Prinsip ini juga dapat membantu memelihara hubungan yang harmonis di antara sesama kita. Membangun komunitas sosial yang damai, tenteram dan sejahtera sehingga terbentuk peradaban manusia yang tinggi.
Etika Komunikasi Dalam Al-Quran dan Hadits
Menurut A. Samover “ We Cannot Not Communicate” oleh karena itu,manusia tidak dapat terhindar dalam interaksi sesamanya. Soal cara (kaifiyah), dalam Al-Quran dan Al-Hadits ditemukan berbagai panduan agar komunikasi berjalan dengan baik dan efektif. Kita dapat mengistilahkannya sebagai kaidah, prinsip, atau etika berkomunikasi dalam perspektif Islam.
Kaidah, prinsip, atau etika komunikasi Islam ini merupakan panduan bagi kaum muslim dalam melakukan komunikasi, baik dalam komunikasi intrapersonal, interpersonal dalam pergaulan sehari hari, berdakwah secara lisan dan tulisan, maupun dalam aktivitas lain.
Dalam berbagai literatur tentang komunikasi Islam kita dapat menemukan setidaknya enam jenis gaya bicara atau pembicaraan (qaulan) yang dikategorikan sebagai kaidah, prinsip, atau etika komunikasi Islam, yakni :
1. Qaulan Sadida
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan Qaulan Sadida –perkataan yang benar” (QS. 4:9)
Sadied menurut bahasa berarti yang benar, tepat. Al-Qosyani menafsirkan Qaulan Sadida dengan : kata yang lurus (qowiman); kata yang benar (Haqqan); kata yang betul, correct,tepat (Shawaban). Al-Qasyani berkata bahwa sadad dalam dalam pembicaraan berarti berkata dengan kejujuran dan dengan kebenaran dari situlah terletak unsur segala kebahagiaan, dan pangkal dari segala kesempurnaan; karena yang demikian itu berasal dari kemurnian hati. Dalam lisanul A’rab Ibnu Manzur berkata bahwa kata sadied yang dihubungkan dengan qaul (perkataan) mengandung arti sebagai sasaran.
Dari beberapa pengertian yang telah dikemukakan diatas,dapatlah dikatakan bahwa yang dihubungkan dengan kegiatan penyampaian pesan dakwah adalah model dari pendekatan bahasa dakwah yang bernuansa persuasife. Moh. Natsir dalam Fiqhud dakwahnya mengatakan bahwa, Qaulan Sadida adalah perkataan lurus (tidak berbeli-belit), kata yang benar,keluar dari hati yang suci bersih, dan diucapkan dengan cara demikian rupa, sehingga tepat mengenai sasaran yang dituju yakni sehingga panggilan dapat sampai mengetuk pintu akal dan hati mereka yang di hadapi.
Dari segi substansi, komunikasi Islam harus menginformasikan atau menyampaikan kebenaran, faktual, hal yang benar saja, jujur, tidak berbohong, juga tidak merekayasa atau memanipulasi fakta. Dari segi redaksi, komunikasi Islam harus menggunakan kata-kata yang baik dan benar, baku, sesuai kadiah bahasa yang berlaku. Dari segi redaksi, komunikasi Islam harus menggunakan kata-kata yang baik dan benar, baku, sesuai kadiah bahasa yang berlaku.
Seorang muslim berkata harus benar, jujur tidak berdusta. Karena sekali kita berkata dusta, selanjutnya kita akan berdusta untuk menutupi dusta kita yang pertama, begitu seterusnya, sehingga bibir kita pun selalu berbohong tanpa merasa berdosa. Siapapun tak ingin dibohongi, seorang istri akan sangat sakit hatinya bila ketahuan suaminya berbohong, begitu juga sebaliknya. Rakyat pun akan murka bila dibohongi pemimpinnya. Juga tidak kalah penting dalam menyampaikan kebenaran, adalah keberanian untuk bicara tegas, jangan ragu dan takut, apalagi jelas dasar hukumnya yaitu Al Quran dan hadits.
“Dan jauhilah perkataan-perkataan dusta” (QS. Al-Hajj:30).
“Hendaklah kamu berpegang pada kebenaran (shidqi) karena sesungguhnya kebenaran itu memimpin kepada kebaikan dan kebaikan itu membawa ke surga” (HR. Muttafaq ‘Alaih).
“Katakanlah kebenaran walaupun pahit rasanya” (HR Ibnu Hibban).
“Dan berkatalah kamu kepada semua manusia dengan cara yang baik” (QS. Al-Baqarah:83).
“Sesungguhnya segala persoalan itu berjalan menurut ketentuan” (H.R. Ibnu Asakir dari Abdullah bin Basri).
2. Qaulan Baligha (Perkataan Yang Membekas Pada Jiwa)
Ungkapan qaulan baligha terdapat pada surah an-Nisa ayat 63
“Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam hati mereka. karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka Qaulan Baligha –perkataan yang berbekas pada jiwa mereka.“ (QS An-Nissa :63).
Jalaluddin Rahmat memerinci pengertian qaulan baligha menjadi dua,qaulan balighaterjadi bila da’i (komunikator) menyesuaian pembicaraannya dengan sifat-sifat khalayak yang dihadapinya sesuai dengan frame of reference and field of experience. Kedua,qaulan baligha terjadi bila komunikator menyentuh khalayaknya pada hati dan otaknya sekaligus.
Jika dicermati pengertian qaulan baligha yang diungkapkan oleh jalaluddin rahmat tersebut maka dapat disimpulkan bahwa kata Qaulan Baligha artinya menggunakan kata-kata yang efektif, tepat sasaran, komunikatif, mudah dimengerti, langsung ke pokok masalah (straight to the point), dan tidak berbelit-belit atau bertele-tele. Agar komunikasi tepat sasaran, gaya bicara dan pesan yang disampaikan hendaklah disesuaikan dengan kadar intelektualitas komunikan dan menggunakan bahasa yang dimengerti oleh mereka.
Sebagai orang yang bijak bila berdakwah kita harus melihat stuasi dan kondisi yang tepat dan menyampaikan dengan kata-kata yang tepat. Bila bicara dengan anak-anak kita harus berkata sesuai dengan pikiran mereka, bila dengan remaja kita harus mengerti dunia mereka. Jangan sampai kita berdakwah tentang teknologi nuklir dihadapan jamaah yang berusia lanjut yang tentu sangat tidak tepat sasaran, malah membuat mereka semakin bingung..Gaya bicara dan pilihan kata dalam berkomunikasi dengan orang awam tentu harus dibedakan dengan saat berkomunikasi dengan kalangan cendekiawan. Berbicara di depan anak TK tentu harus tidak sama dengan saat berbicara di depan mahasiswa. Dalam konteks akademis, kita dituntut menggunakan bahasa akademis. Saat berkomunikasi di media massa, gunakanlah bahasa jurnalistik sebagai bahasa komunikasi massa (language of mass communication).
“Berbicaralah kepada manusia sesuai dengan kadar akal (intelektualitas) mereka”(H.R. Muslim).
”Tidak kami utus seorang rasul kecuali ia harus menjelaskan dengann bahasa kaumnya”(QS.Ibrahim:4).
3. Qaulan Ma’rufa (Perkataan Yang Baik)
Jalaluddin rahmat menjelaskan bahwa qaulan ma’rufan adalah perkataan yang baik. Allah menggunakan frase ini ketika berbicara tentang kewajiban orang-orang kaya atau kuat terhadap orang-orang miskin atau lemah.qaulan ma’rufan berarti pembicaraan yang bermamfaat memberikan pengetahuan, mencerahkan pemikiran, menunjukan pemecahan terhadap kesulitan kepada orang lemah, jika kita tidak dapat membantu secara material,kita harus dapat membantu psikologi.
Qaulan Ma’rufa juga bermakna pembicaraan yang bermanfaat dan menimbulkan kebaikan (maslahat). Sebagai muslim yang beriman,perkataan kita harus terjaga dari perkataan yang sia-sia, apapun yang kita ucapkan harus selalu mengandung nasehat, menyejukkan hati bagi orang yang mendengarnya. Jangan sampai kita hanya mencari-cari kejelekan orang lain, yang hanya bisa mengkritik atau mencari kesalahan orang lain, memfitnah dan menghasut.
Kata Qaulan Ma`rufa disebutkan Allah dalam QS An-Nissa ayat 5 dan 8, QS. Al-Baqarah ayat 235 dan 263, serta Al-Ahzab ayat 32.
“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya[268], harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka Qaulan Ma’rufa –kata-kata yang baik.” (QS An-Nissa :5)
“Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin, Maka berilah mereka dari harta itu (sekadarnya) dan ucapkanlah kepada mereka Qaulan Ma’rufa –perkataan yang baik” (QS An-Nissa :8).
“Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu Menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu Mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekadar mengucapkan (kepada mereka) Qaulan Ma’rufa –perkataan yang baik…” (QS. Al-Baqarah:235).
“Qulan Ma’rufa –perkataan yang baik– dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun.” (QS. Al-Baqarah: 263).
“Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya] dan ucapkanlah Qaulan Ma’rufa –perkataan yang baik.” (QS. Al-Ahzab: 32).
4. Qaulan Karima (Perkataan Yang Mulia)
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada kedua orangtuamu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, seklai kali janganlah kamu mengatakan kepada kedanya perkatan ‘ah’ dan kamu janganlah membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka Qaulan Karima –ucapan yang mulia” (QS. Al-Isra: 23).
Dakwah dengan qaulan karima adalah orang yang telah lanjut usia,pendekatan yang digunakan adalah dengan perkataan yang mulia, santun penuh penghormatan dan penghargaan tidak menggurui tidak perlu retorika yang meledak-ledak. Term qaulan karima terdapat dalam surat al-isra ayat 23.
Dalam perspektif dakwah maka term pergaulan qaulan karima diperlakukan jika dakwah itu ditujukan kepada kelompok orang yang sudah masuk kategori usia lanjut. Seseorang da’i dalam perhubungan dengan lapisan mad’u yang sudah masuk kategori usia lanjut, haruslah bersikap seperti terhadap orang tua sendiri,yankni hormat dan tidak kasar kepadanya,karena manusia meskipun telah mencapai usia lanjut,bisa saja berbuat salah atau melakukan hal-hal yang sasat menurutukuran agama. Dengan penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa qaulan karimah adalah perkataan yang mulia, dibarengi dengan rasa hormat dan mengagungkan, enak didengar, lemah-lembut, dan bertatakrama.
Dalam konteks jurnalistik dan penyiaran, Qaulan Karima bermakna mengunakan kata-kata yang santun, tidak kasar, tidak vulgar, dan menghindari “bad taste”, seperti jijik, muak, ngeri, dan sadis.
5. Qaulan Layyinan (Perkataan Yang Lembut)
Term qaulan layyinan tardapat dalam surah Thaha ayat 43-44 secara harfiah berarti komunikasi yang lemah lembut (layyin)
“Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan Qulan Layina –kata-kata yang lemah-lembut…” (QS. Thaha: 44).
Dari ayat tersebut maka dapat ditarik kesimpulan bahwa Qaulan Layina berarti pembicaraan yang lemah-lembut, dengan suara yang enak didengar, dan penuh keramahan, sehingga dapat menyentuh hati maksudnya tidak mengeraskan suara, seperti membentak, meninggikan suara. Siapapun tidak suka bila berbicara dengan orang-orang yang kasar. Rasullulah selalu bertuturkata dengan lemah lembut, hingga setiap kata yang beliau ucapkan sangat menyentuh hati siapapun yang mendengarnya.Dalam Tafsir Ibnu Katsir disebutkan, yang dimaksud layina ialah kata kata sindiran, bukan dengan kata kata terus terang atau lugas, apalagi kasar.
Ayat di atas adalah perintah Allah SWT kepada Nabi Musa dan Harun agar berbicara lemah-lembut, tidak kasar, kepada Fir’aun. Dengan Qaulan Layina, hati komunikan (orang yang diajak berkomunikasi) akan merasa tersentuh dan jiwanya tergerak untuk menerima pesan komunikasi kita.
Dengan demikian, dalam komunikasi Islam, semaksimal mungkin dihindari kata-kata kasar dan suara (intonasi) yang bernada keras dan tinggi. Allah melarang bersikap keras dan kasar dalam berdakwah, karena kekerasan akan mengakibatkan dakwah tidak akan berhasil malah ummat akan menjauh. Dalam berdoa pun Allah memerintahkan agar kita memohon dengan lemah lembut, “Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lemahlembut, sungguh Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas,” (Al A’raaf ayat 55)
6. Qaulan Maisura (Perkataan Yang Ringan)
”Dan jika kamu berpaling dari mereka untuk memperoleh rahmat dari Tuhannya yang kamu harapkan, maka katakanlah kepada mereka Qaulan Maysura –ucapan yang mudah” (QS. Al-Isra: 28).
Istilah Qaulan Maisura tersebut dalam Al-Isra. Kalimat maisura berasal dari kata yasr, yang artinya mudah. Qaulan maisura adalah lawan dari kata ma’sura, perkataan yang sulit. Sebagai bahasa Komunikasi, qaulan maisura artinya perkataan yang mudah diterima, dan ringan, yang pantas, yang tidak berliku-liku. Dakwah dengan qaulan maisura yang artinya pesan yang disampaikan itu sederhana, mudah dimengerti dan dapat dipahami secara spontan tanpa harus berpikir dua kali. Pesan dakwah model ini tidak memerlukan dalil naqli maupun argument-argumen logika.
Dakwah dengan pendekatan Qaulan Maisura harus menjadi pertimbangan mad’u yang dihadapi itu terdiri dari:
· Orang tua atau kelompok orang tua yang merasa dituakan, yang sedang menjalani kesedihan lantaran kurang bijaknya perlakuan anak terhadap orang tuanya atau oleh kelompok yang lebih muda.
· Orang yang tergolong didzalimi haknya oleh orang-orang yang lebih kuat.
· Masyarakat yang secara sosial berada dibawah garis kemiskinan, lapisan masyarakat tersebut sangat peka dengan nasihat yang panjang, karenanya da’i harus memberikan solusi dengan membantu mereka dalam dakwah bil hal.
BAB III
Penutup
Pentingnya etika dalam proses komunikasi bertujuan agar komunikasi kita berhasil dengan baik (komunikatif) dan terjalinnya hubungan yang harmonis antara komunikator dan komunikan. Hubungan akan terjalin secara harmonis apabila antara komunikator dan komunikan saling menumbuhkan rasa senang. Rasa senang akan muncul apabila keduanya saling menghargai, dan penghargaan sesama akan lahir apabila keduanya saling memahami tentang karakteristik seseorang dan etika yang diyakini masing-masing.
Johannesen (1996: 11) menyatakan bahwa komunikasi yang etis bukan hanya serangkaian keputusan yang cermat dan reklektif, serta berkomunikasi dengan cara yang bertanggungjawab dan etis, melainkan penerapan kaidah-kaidah etika secara berhati-hati, kadang-kadang tidak mungkin dilakukan. Tekanan yang dihadapi mungkin saja terlalu besar atau batas waktunya terlalu dekat untuk membuat suatu keputusan sehingga tidak ada waktu yang cukup untuk mempertimbangkan secara mendalam atau kita kurang memahami kriteria etika yang relevan untuk diterapkan. Situasinya mungkin begitu unik sehingga kriteria yang dapat diterapkan tidak segera terlintas dalam benak. Dalam saat-saat kritis, keputusan kita mengenai komunikasi etis muncul bukan dari pertimbangan yang mendalam, melainkan lebih dari karakter yang terbentuk dalam diri kita sendiri.
Etika komunikasi merupakan bagian dari upaya untuk menjamin otonomi demokrasi. Etika komunikasi tidak hanya berhenti pada masalah perilaku aktor komunikasi (wartawan, editor, agen iklan, dan pengelola rumah produksi). Etika komunikasi berhubungan juga dengan praktek institusi, hukum, komunitas, struktur sosial, politik dan ekonomi. Lebih dari itu, etika komunikasi selalu dihadapkan dengan berbagai masalah, yaitu antara kebebasan berekspresi dan tanggung jawab terhadap pelayanan publik. Etika komunikasi memilik tiga dimensi yang terkait satu dengan yang lain, yaitu aksi komunikasi, sasaran dan tujuan.
Dalam perspektif umum ini, etika komunikasi dibagi menjadi beberapa bahasan yaitu, etika komunikasi antarpersona, etika komunikasi antarbudaya, etika komunikasi massa. Lalu terdapat juga etika komunikasi dalam perspektif islam.
Dalam persperktif Islam, komunikasi merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan manusia karena segala gerak langkah kita selalu disertai dengan komunikasi. Komunikasi yang dimaksud adalah komunikasi yang islami, yaitu komunikasi yang berakhlak al-karimah atau beretika. Komunikasi yang berakhlak al-karimah berarti komunikasi yang bersumber kepada Al-Qur’an dan hadits. A. Muis (2001:720) mengatakan komunikasi islami memiliki perbedaan dengan non-islami. Perbedaan itu lebih pada isi pesan (content) komunikasi yang harus terikat perintah agama, dan dengan sendirinya pula unsur content mengikat unsure komunikator. Artinya, komunikator harus memiliki dan menjunjung tinggi nilai-nilai etika dalam menyampaikan pesan berbicara, berpidato, berkhotbah, berceramah, menyiarkan berita, menulis artikel, mewawancarai, mengkritik, melukis, menyanyi, bermain film, bermain sandiwara di panggung pertunjukan, menari, berolahraga, dan sebagainya.
Kemudian, seorang komunikator tidak boleh menggunakan simbol-simbol atau kata-kata yang kasar, yang menyinggung perasaan komunikan atau khalayak, juga tidak boleh memperlihatkan gerak-gerik, perilaku, cara pakaian yang menyalahi kaidah-kaidah agama.
Menurut A. Samover “ We Cannot Not Communicate” oleh karena itu,manusia tidak dapat terhindar dalam interaksi sesamanya. Soal cara (kaifiyah), dalam Al-Quran dan Al-Hadits ditemukan berbagai panduan agar komunikasi berjalan dengan baik dan efektif. Kita dapat mengistilahkannya sebagai kaidah, prinsip, atau etika berkomunikasi dalam perspektif Islam.
Kaidah, prinsip, atau etika komunikasi Islam ini merupakan panduan bagi kaum muslim dalam melakukan komunikasi, baik dalam komunikasi intrapersonal, interpersonal dalam pergaulan sehari hari, berdakwah secara lisan dan tulisan, maupun dalam aktivitas lain.
Dalam berbagai literatur tentang komunikasi Islam kita dapat menemukan setidaknya enam jenis gaya bicara atau pembicaraan (qaulan) yang dikategorikan sebagai kaidah, prinsip, atau etika komunikasi Islam, yakni Qaulan Sadida, Qaulan Baligha, Qulan Ma’rufa, Qaulan Karima, Qaulan Layinan, dan Qaulan Maysura.
Daftar Pustaka
Saefullah, Ujang. 2007. Kapita Selekta Komunikasi, Pendekatan Budaya dan Agama.
Bandung : Simbiosa Rekatama Media.
http://arshadgraffity.blogspot.com