1. Pers saat ini
Beranjak pada kondisi pers di Indonesia saat ini, kebebasan pers seolah hanya menjadi wacana. Kebebasan pers itu tidak otomatis dialami dalam suasana merdeka. Artinya, pers memang bebas melaporkan apa saja, tapi kebebasan melaporkan itu tidak merdeka karena ada intervensi dalam konteks internal pers. Kebebasan tapi tidak merdeka itu dapat dibuktikan dari peringkat "World Press Freedom Index 2012" yang dikeluarkan oleh Reporters Without Borders, terkait Indeks Kemerdekaan Pers.
Dalam pemeringkatan Indeks Kemerdekaan Pers itu, Indeks Kemerdekaan Pers Indonesia turun dari 117 pada tahun 2011 menjadi 146 pada tahun 2012. Padahal di seluruh pelosok negeri orang-orang ramai meneriakkan demokrasi yang berarti pemberitaan seharusnya bisa memperoleh kemerdekaannya. Kondisi ini sangat memprihatinkan apalagi jika mengingat masih tinggi angka kekerasan terhadap jurnalis, kasus pembunuhan terhadap jurnalis yang terakhir diberitakan media juga tidak jelas sanksi hokum terhadap pembunuhnya karena siapa pelakunya pun masih tertutupi kabut gelap. Aparat seolah tidak serius menanggapi kasus ini.
Selain kekerasan fisik, LBH Pers Surabaya juga menilai keputusan politik dan kebijakan negara juga menjadi ancaman kemerdekaan pers, di antaranya munculnya UU Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara. Undng-undang yang masih terbilang muda ini juga dianggap semakin mempersempit ruang gerak pers.
Namun ada ancaman yang lebih besar selain ancaman eksternal yang telah disebutkan bagi kemerdekaan pers. Ancaman itu berasal dari dalam tubuh media, ancaman internal. Para pemilik modal dari media kini tidak lagi focus terhadap visi awalnya untuk mencerahkan masyarakat dengan informasi-informasinya tanpa memihak kepentingan tertentu. Sajian media massa haruslah netral, tapi jika pemilik modal sudah campur tangan dalam mengisi konten siaran dengan mengedepankan kepentingan pribadinya, hilanglah visi awal tersebut. Media hanya akan menjadi boneka bagi para pemilik modal dan orang-orang berkuasa yang notabene tidak pro rakyat dan hanya mengejar keuntungan pribadi semata.
Eksistensi pers saat ini sudah tidak bisa diharap lagi sebagai alat control kritis masyarakat tetapi sudah menjadi satu sector komoditi industry yang diorientasikan untuk mengakumulasi provit. Belum lagi para pemain politik yang juga mulai melirik kearah media untuk kepentingan partai dan pribadi mereka. Sudah lumrah saat ini pengusaha yang juga terjun ke ranah politik menggunakan media elektronik maupun konvensional, terutama televisi sebagai media promosinya sekaligus media yang dikuasainya. Benar, mempromosikan diri sendiri beserta partai yang menjadi ideologinya.
Dengan begitu, hilanglah sifat media sebagai alat pencerah masyarakat yang netral dalam menyampaikan informasi. Inilah ancaman bagi pers saat ini yang bisa merubah fungsi utama pers yang seharusnya menjadi alat pencerah yang mencerdaskan masyarakat menjadi alat bagi kepentingan pribadi suatu kelompok atau perseorangan, yang jelas mereka yang memiliki modal terbesar bisa menjadikan media sebagai bonekanya. Seperti itulah kira-kira kondisi pers dinegara kita tercinta ini saat ini.
2. UU No. 40 dan KEJ (2006)
UU No. 40/1999 hanya mengatur mengenai media massa cetak, sedangkan media massa elektronik diatur dalam UU No. 32/2002 tentang Penyiaran. Namun khusus mengenai kegiatan wartawan, baik wartawan cetak, elektronik, maupun online mengacu pada UU No. 40/1999, utamanya pasal 17 ayat (2).
UU ini memuat 20 pasal disertai penjelasan tiap pasal tersebut. Secara garis besar isi UU ini menjelaskan dan atau mengatur tentang: a) lembaga /perusahaan pers, b) peran dan fungsi lembaga pers, c) kewajiban lembaga pers, d) pelaksanaan tugas wartawan, c) rambu-rambu yang harus dipatuhi wartawan, d) pengawasan terhadap wartawan, serta e) sanksi terhadap pelanggaran.
Kode etik jurnalistik Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) adalah suatu kode etik profesi wartawan Indonesia yang harus dipatuhi oleh para wartawan dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai pekerja pers.
Kode Etik Jurnalistik adalah acuan moral yang mengatur tindak-tanduk seorang wartawan. Kode Etik Jurnalistik bisa berbeda dari satu organisasi ke organisasi lain, dari satu koran ke koran lain. Namun secara umum dia berisi jaminan tentang terpenuhinya tanggung-jawab seorang wartawan kepada publik pembacanya.
3. KUHP dan KUHAP
KUHP merupakan singkatan dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana, yang nama aslinya adalah Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (WvSNI). Berdasarkan isinya, hukum dapat dibagi menjadi dua yaitu hukum privat dan hukum publik (C.S.T Kansil).Hukum privat adalah hukum yg mengatur hubungan orang perorang, sedangkan hukum publik adalah hukum yg mengatur hubungan antara negara dengan warga negaranya. KUHP dibentuk sebagai suatu aturan yang digunakan oleh Negara untuk menyelenggarakan ketertiban umum.
KUHP berlaku di Indonesia saat ini terbentuk sejak tahun 1915 (dalam bentuk kodifikasi) melalui Staatsblad 1915 No. 732. KUHP ini mulai berlaku sejak 1 Januari 1918 ketika Indonesia masih dalam penjajahan Belanda. Kodifikasi KUHP adalah selaras dengan Wetboek van Strafrecht (WVS) negeri Belanda. WVS bersumber dari Code Penal Perancis, dan Code Penal Perancis bersumber dari Hukum Romawi. Jadi, sumber KUHP sebenarnya dari Hukum Romawi. Hal ini tidak lepas dari adanya asas konkordasi (penyesuaian) dimana Negara jajahan akan mengikuti hukum yang berlaku di Negara penjajah. Prancis merupakan Negara jajahan Romawi, Belanda bekas jajahan Prancis dan Indonesia merupakan jajahan Belanda.
Hukum pidana merupakan bagian dari hukum publik. Hukum pidana terbagi menjadi dua bagian, yaitu hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. Hukum pidana materiil mengatur tentang penentuan tindak pidana, pelaku tindak pidana, dan pidana (sanksi). Di Indonesia, pengaturan hukum pidana materiil diatur dalam kitab undang-undang hukum pidana (KUHP). Hukum pidana formil mengatur tentang pelaksanaan hukum pidana materiil. Di Indonesia, pengaturan hukum pidana formil telah disahkan dengan UU nomor 8 tahun 1981 tentang hukum acara pidana (KUHAP) yang mengatur tentang hal-hal/tata cara pelaksanaan/proses hukum dalam prakteknya salah satunya di pengadilan.
4. Hak Jawab
Hak Jawab adalah hak seseorang, sekelompok orang, organisasi atau badan hukum untuk menanggapi dan menyanggah pemberitaan atau karya jurnalistik yang melanggar Kode Etik Jurnalistik, terutama kekeliruan dan ketidakakuratan fakta, yang merugikan nama baiknya kepada pers yang memublikasikan.Hak Jawab berasaskan keadilan, kepentingan umum, proporsionalitas, dan profesionalitas. Pers wajib melayani setiap Hak Jawab.
Fungsi Hak Jawab adalah:
a. Memenuhi hak masyarakat untuk mendapatkan informasi yang akurat;
b. Menghargai martabat dan kehormatan orang yang merasa dirugikan akibat pemberitaan pers;
c. Mencegah atau mengurangi munculnya kerugian yang lebih besar bagi masyarakat dan pers;
d. Bentuk pengawasan masyarakat terhadap pers.
Tujuan Hak Jawab untuk:
a. Memenuhi pemberitaaan atau karya jurnalistik yang adil dan berimbang;
b. Melaksanakan tanggung jawab pers kepada masyarakat
c. Menyelesaikan sengketa pemberitaan pers;
d. Mewujudkan iktikad baik pers.
Hak Jawab berisi sanggahan dan tanggapan dari pihak yang dirugikan. Hak Jawab diajukan langsung kepada pers yang bersangkutan, dengan tembusan ke Dewan Pers. Dalam hal kelompok orang, organisasi atau badan hukum, Hak Jawab diajukan oleh pihak yang berwenang dan atau sesuai statuta organisasi, atau badan hukum bersangkutan. Pengajuan Hak Jawab dilakukan secara tertulis (termasuk digital) dan ditujukan kepada penanggung jawab pers bersangkutan atau menyampaikan langsung kepada redaksi dengan menunjukkan identitas diri. Pihak yang mengajukan Hak Jawab wajib memberitahukan informasi yang dianggap merugikan dirinya baik bagian per bagian atau secara keseluruhan dengan data pendukung. Pelayanan Hak Jawab tidak dikenakan biaya.
5. Hak Tolak
Definisi dari hak tolak sendiri berdasarkan UU No 40 Tahun 1999 adalah hak wartawan karena profesinya, untuk menolak mengungkapkan nama dan atau identitas lainnya dari sumber berita yang harus dirahasiakannya. Dalam UU No 40 Tahun 1999 tentang pers disebutkan bahwa kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud dari kedaulatan rakyat yang berasaskan pada prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum (Pasal 2). Ketentuan ini harus dibaca senafas dengan Pasal 4 yang menyebutkan bahwa Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara dan untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.
Untuk itu salah satu dari fungsi Hak Tolak adalah agar pers dapat berperan untuk mampu memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui, menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan Hak Asasi Manusia, serta menghormat kebhinekaan, mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar, melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum dan memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
Penggunaan hak tolak tidak bisa dicabut begitu saja oleh pengadilan atas nama penegakkan hukum dengan kata lain hak tolak ini bersifat mutlak karena berdasarkan UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers dinyatakan bahwa dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum (Pasal 8). Jadi jika pada satu kasus seorang wartawan berhasil mewawancarai seorang koruptor yang buron misalnya dan menolak untuk memberikan info atasnya, wartawan tersebut tidak terkena sanksi hokum atas menyembunyikan boronan karena sudah dilindungi UU Pers dengan hak tolaknya.
Kalau hak tolak ini diabaikan, maka mudharatnya akan lebih banyak dibanding manfaatnya, kita bisa melihat bagaimana pengadilan memutuskan tentang pemberitaan bohong ketika wartawan tetap memegang teguh tentang hak tolak. Demikian juga dengan pengungkapan kasus korupsi ke publik akan lebih sulit disamping tidak ada whistle blower act (tidak ada tindakan), orang yang mengadukan korupsi ke media menjadi takut, karena hak tolak wartawan akan dengan semena-mena dicabut oleh pengadilan.
6. Pembocoran Rahasia Negara dan Rahasia Keamanan Negara
Tindakan pembocoran rahasia Negara adalah suatu tindakan yang bisa merusak stabilitas suatu Negara. Tindakan itu juga bisa mengancam keamanan Negara, maka dari itu hal ini di antisipasi dengan serius dengan adanya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara, intelijen Negara bertugas menjaga keamanan dan stabilitas Negara, dalam hal ini Negara Indonesia. Tindakan pembocoran rahasia Negara atau rahasia keamanan Negara akan diberi sanksi hokum sesuai UU No. 17 tahun 2011 tentang inteijen negara.
Kasus terkait hal ini adalah kasus Munir beberapa waktu lalu. Munir dianggap mengetahui rahasia intelijen dan dianggap dapat membahayakan stabilitas nasional, maka dalam hal ini bisa dikatakan Negara mengorbankan seorang Munir demi stabilitas dan keamanan Negara. Bagi siapa saja, baik orang maupun badan hukum dilarang membocorkan rahasia negara. Dalam hukum pidana yang berkaitan dengan pelanggaran terhadap larangan, terdapat beberapa jenis delik.
Jenis delik tersebut adalah sebagai berikut:
a. Delik commisionis, yaitu delik yang berupa pelanggaran terhadap larangan, ialah berbuat sesuatu yang dilarang, seperti pencurian, penggelapan, penipuan.
b. Delik ommisionis, yaitu delik berupa pelanggaran terhadap perintah, ialah tidak melakukan sesuatu yang diperintahkan/diharuskan, contohnya: tidak menghadap sebagai saksi di pengadilan (Pasal 522 KUHP), tidak memberikan pertolongan kepada orang yang memerlukan pertolongan.
c. Delik commissionis per omissionen comissa, yaitu delik yang berupa pelanggaran, akan tetapi dapat dilakukan dengan cara tidak berbuat, contohnya seorang ibu yang membunuh anaknya karena tidak meberi susu.
Wartawan atau awak media lainnya, berdasarkan UU Intelijen ini, dilarang membocorkan rahasia negara meskipun tugas dan wewenang pers adalah untuk menyampaikan informasi kepada masyarakat. Selain dalam UU Intelijen ini, mengenai rahasia negara juga terdapat pembatasan yang cukup tegas dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik yang menerangkan bahwa hal yang bersifat rahasia merupakan hal yang dikecualikan diakses publik. Dengan demikian, bagi saya dari segi formulasi dan inti rumusan pasal berdasarkan kaidah hukum pidana tidak ada masalah yang berarti.